Sabtu, 09 Maret 2013
?
Daun-daun berserakan
Musim gugur telah datang
Langit biru berubah kelabu
Seperti cintaku
Tlah kucoba untuk membawamu
Dan membuatmu utuh
Tapi semua itu tak cukup
Aku harus pergi
Siapa yang kan selamatkanmu
Saat aku tiada?
Dan siapa yang kan menjagamu
Saat aku tiada?
Kau bilang sayang padaku
Tapi kau sembunyikan rasamu itu dengan rapi
Bagaimana bisa kau cintai seseorang
Dan tidak mencintai dirimu sendiri?
Dan saat aku tiada
Siapa yang ringankan deritamu?
Siapa yang akan kau salahkan?
Tak bisa kulanjutkan
Dan biarkanmu kehilangan segalanya
Semua ini tak bisa kutanggung
Siapa yang kan redakan sakitmu?
Redakan sakitmu
Siapa yang kan selamatkanmu saat aku tiada?
Siapa yang kan menjagamu?
Siapa yang kan memberimu kekuatan saat kau lemah
Siapa yang kan menjagamu saat aku jauh dari sisimu?
Salju berjatuhan
Musim dingin datang
Kau rindu mendengar suaraku
Tapi aku tlah lama pergi
Memories
Can’t I be the one in this life?
Can’t I be the one in this life?
Can I be the one in the next life?
If you can promise me that, even if today
Is my last day, I won’t be afraid, my loveI keep getting worn out behind your back
Even if I call you, you look at somewhere else and there is no answer
I have to let you go, I know that all too well
But my heart isn’t mine anymore
Your sadness is the same as mine
I feel as if I know what loneliness is
I wanted to hold you tightly
So that my tears wouldn’t come
Why can’t you understand my heart?
Or can I not be it?
I never wanted anybody so sincerely
I never wanted anybody so sincerely
Wanted someone this honestly
Can’t you see my heart? I’m so exhausted
Letting you go will probably make everything better, butEven if I lose everything, I still want to behind you
Because I can’t replace you with anyone else
Your sadness is the same as mine
I feel as if I know what loneliness is
I wanted to hold you tightly
So that my tears wouldn’t come
Benarkah Indonesia Negara Demokrasi?
Benarkah Indonesia Negara Demokrasi? Pertanyaan itu dilontarkan Ketua Umum Front Pembela Islam (FPI) Habib Muhammad Rizieq Syihab dalam acara bertajuk NKRI Bersyariah, di Jakarta, Jumat (22/2/2013).
Secara singkat Habib Rizieq menguraikan, bahwa ketika perdebatan tentang Dasar Negara sebelum kemerdekaan diproklamirkan, Muhammad Yamin, Soepomo dan Soekarno mengajukan usulannya.
Pada tanggal 29 Mei 1945 dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Muhammad Yamin mengusulkan Lima Dasar Negara tanpa menggunakan istilah Pancasila. Lima Dasar Negara usulan M. Yamin adalah: 1. Peri Kebangsaan, 2. Peri Kemanusiaan, 3. Peri Ketuhanan, 4. Peri Kerakyatan, 5. Kesejahteraan Sosial.
Pada sidang terakhir BPUPKI 1 Juni 1945 Soekarno mengajukan Lima Dasar: 1. Kebangsaan Indonesia, 2. Internasionalisme atau Peri Kemanusiaan, 3. Mufakat atau Demokrasi, 4. Keadilan Sosial, 5. Ketuhanan.
“Baik usulan Soepomo, Yamin maupun ‘Pancasilanya Soekarno’, itu tidak pernah menjadi kesepakatan maupun keputusan BPUPKI,” kata Habib Rizieq.
Kata Habib Rizieq, sidang berjalan alot. BPUPKI terbelah antara kelompok sekuler dengan kelompok Islam. Kelompok Islam sudah tentu menginginkan Negara berdasarkan Islam, dan ditentang kelompok sekuler.
Akhirnya sidang membentuk Panitia Sembilan. “Ada empat ulama dalam Panitia Sembilan ini, yaitu KH Abdul Wahid Hasyim (NU), KH Abdul Qohar Muzakkir (Muhammadiyah), KH Agus Salim dan Abikoesno Tjokrosoejoso, keduanya dari Syarikat Islam,” ujar Rizieq. Sementara golongan sekuler diwakili Soekarno, M. Hatta, M. Yamin dan Ahmad Soebardjo. Dan, kalangan Kristen diwakili A.A Maramis.
Habib Rizieq menegaskan, justru Panitia Sembilan yang berhasil menetapkan Dasar Negara yang dibingkai dalam Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945. Lima Dasar Negara itu adalah: 1. Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, 2. Kemanusiaan yang adil dan beradab, 3. Persatuan Indonesia, 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, 5. Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Malah sebelumnya, bunyi sila pertama versi Piagam Jakarta itu adalah: ‘Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam’, tanpa diikuti kalimat ‘bagi pemeluk-pemeluknya’. Tetapi kemudian muncul kompromi dengan menambah kalimat ‘bagi pemeluk-pemeluknya’.
Disepakati pula saat proklamasi kemerdekaan, Piagam Jakarta ini secara resmi akan dibacakan. Tapi, kata Habib Rizieq, terjadi penelikungan. Pada 17 Agustus 1945 itu bukan Piagam Jakarta yang secara resmi dibacakan, melainkan secara dadakan Soekarno membuat teks proklamasi dengan singkat lewat tulisan tangan. Teks proklamasi dadakan dan singkat inilah yang dibacakan untuk proklamasi kemerdekaan sebagaimana dikenal sampai sekarang.
Parahnya lagi, pada keesokan harinya, 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) bersidang, dan terjadilah terjadi pengkhianatan. Tanpa melibatkan wakil-wakil Islam sebagaimana dalam sidang BPUPKI sebelumnya, terjadilah pencoretan tujuh kata dalam sila pertama yang berbunyi: ‘kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’.
Dalih bahwa kalangan Kristen Indonesia Timur akan menarik diri dari NKRI jika Piagam Jakarta dideklarasikan seperti disampaikan Hatta yang, katanya, mendapat informasi dari opsir Jepang, menurut sejarawan dan budayawan Ridwan Saidi, itu dusta belaka. Tak ada faktanya.
Tanpa melibatkan wakil-wakil islam dalam pengesahan Dasar Negara Pancasila yang berbeda dengan Piagam Jakarta, sesungguhnya siding PPKI 18 Agustus 1945 itu tidak sah. Jadi, sebenarnya sampai sekarang jika umat Islam menegakkan syariat Islam di republik ini adalah sah. Yang berlawanan atau menentang, justru masuk kategori subversif.
Toh, meskipun demikian, kata Habib Rizieq, sila pertama yang diganti (tanpa melibatkan wakil-wakil Islam) menjadi ‘Ketuhanan Yang Maha Esa”, itu pun jelas maksudnya Allah Subhanahu Wata’ala. Sebab, Tuhan Yang Esa itu hanya ada dalam Islam. Ditambah lagi ditegaskan dalam Muqaddimah UUD 1945 pada alenia ketiga: “Atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa”, ini jelas merujuk kepada Islam.
Dengan pengkhianatan ini, sesungguhnya sidang PPKI yang tak melibatkan wakil-wakil Islam yang sudah menyepakati Piagam Jakarta bersama kelompok sekuler dan satu orang wakil dari golongan Kristen, adalah tidak sah. Dasar Negara yang sah adalah yang disepakati dan ditandatangani pada 22 Juni 1945 yang terdapat dalam Piagam Jakarta.
“Historisnya, Pancasilanya Soekarno ditolak. Yang disepakati adalah Dasar Negara yang terdapat dalam Piagam Jakarta,” ungkap Habib Rizieq.
Lantas, kata Habib Rizieq, bagaimana ceritanya ujuk-ujuk Indonesia disebut sebagai Negara Demokrasi? Pancasila yang dijadikan sebagai Dasar Negara (lewat pengkhianatan) itu tidak menyebut republik ini sebagai sebagai Negara Demokrasi.
Tapi, lucunya, ungkap Habib Rizieq, Soekarno pernah mendeklarasikan Demokrasi Liberal dan Demokrasi terpimpin untuk tujuan melindungi Komunisme. Sementara Soeharto mendeklare Demokrasi Pancasila untuk melindungi Kebatinan.
Dan sekarang, yang katanya era ‘reformasi’ lebih kebablasan lagi. Jadi, jangankan untuk “bertaubat” mengembalikan syariat Islam sesuai kesepakatan dalam Piagam Jakarta, Pancasila sendiri diselewengkan dengan menyelenggarakan pemilihan langsung (presiden dan kepala daerah)–yang mengeluarkan banyak uang, sehingga pada nekat korupsi mencari uang haram agar terpilih dalam “pesta demokrasi”, yang kalau sudah terpilih muncul lagi aksi untuk mengembalikan modal plus keuntungannya, sehingga jadilah demokrasi melahirkan para koruptor!
Habib Rizieq menceritakan, ia pernah mendapat kunjungan dari beberapa jenderal membahas soal ini. Menurut para jenderal itu, Indonesia adalah Negara Demokrasi. Lalu, ujar Habib Rizieq, tidak ada kata-kata atau kalimat dalam Pancasila atau UUD 45 yang menunjukkan Indonesia sebagai Negara Demokrasi.
“Ada,” jawab para jenderal itu, “Dalam Pancasila sila ke-4, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan itu maksudnya adalah demokrasi.”
“Itu Musyawarah. Musyawarah itu berbeda dengan Demokrasi,” kata Habib Rizieq kepada para jenderal itu. Kemudian Habib Rizieq menguraikan beda Musyawarah dengan Demokrasi.
Akhirnya, cerita Habib Rizieq, jenderal-jenderal itu mengangguk bahwa Indonesia bukan Negara Demokrasi, melainkan, semestinya disebut Negara Musyawarah.
Celakanya lagi, kata Habib Rizieq, jika Soekarno mendeklare Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin dan Soeharto memaksakan istilah Demokrasi Pancasila, eh di era “reformasi” kian parah. Ada liberalisasi Pancasila. Pancasila diliberalkan.
Sebut misalnya, pemilihan presiden langsung atau kepala daerah yang dipilih langsung, itu justru bertentangan dengan sila keempat Pancasila yang menganut asas musyawarah untuk mufakat.
Dalam konteks ini, menurut Habib Rizieq, ada unsur kesengajaan dengan mengorupsi terminologi (istilah). Kelompok sekuler menafsirkan seenaknya, sehingga kata Musyawarah ditafsirkan sebagai Demokrasi.
Dalam hal ini, Habib Rizieq menambahkan, termasuk, misalnya, penggunaan istilah parlemen, itu juga untuk mengaburkan kata Musyawarah dan Perwakilan. “Jangan sebut parlemen, tapi DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dan MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat),” tegasnya.
Ini bermula dari pengkhianatan terhadap islam dan kaum Muslimin yang berkuah darah bermandikan keringat dalam merebut kemerdekaan republik ini.
Umat Islam sebagai pemegang saham mayoritas negeri ini adalah yang berhak menetapkan Dasar Negara dan mengisi pembangunan republik dengan landasan syariat islam.
Jika ada pihak yang mengatakan, ini bukan Negara Islam, kalau ente mau menegakkan syariat Islam di Negara ini, dan tidak suka dengan kondisi Indonesia sekarang, ‘silakan keluar’, maka, kata Habib Rizieq, justru sebaliknya, merekalah yang harus keluar.
Sebab, penetapan Dasar Negara Indonesia yang dibingkai dalam Piagam Jakarta itulah yang sah, karena disepakati dan ditandatangani oleh para pendiri bangsa ini, tapi terjadi penelikungan dan pengkhianatan pada 18 Agustus 1945, sehari setelah proklamasi kemerdekaan—dimana teks proklamasi yang semestinya adalah pembacaan Piagam Jakarta secara resmi oleh Soekarno, bukan teks proklamasi dadakan hasil dari tulisan tangan presiden pertama RI itu.
Bahkan, tak hanya menyepakati Dasar Negara dalam bingkai Piagam Jakarta, umat Islamlah yang bermandikan darah bercucuran keringat untuk merebut dan memerdekakan republik ini. Jadi, masuk akal jika kaum Muslimin adalah yang paling berhak mengatur negeri ini. Ini historis. Jangan mengingkari sejarah! Ini negeri Islam. Jadi, kata Habib Rizieq, umat Islam harus mengisi negeri ini dengan syariat Islam, bukan malah minggir apalagi keluar dari NKRI.
Jadi, apapun ceritanya, mengungkap historis perjalanan bangsa dan Negara ini, lebih dari itu, Indonesia sebenarnya adalah Negara yang berdasarkan Islam, setidaknya bagi pemeluk-pemeluknya diwajibkan menjalankan dan menegakkan syariat Islam di persada ini. Yang protes dan menghalangi, jutsru menentang kesepakatan ditandatanganinya perumusan Dasar Negara dalam Piagam Jakarta!
Kalaupun tak mengacu pada Piagam Jakarta, Negara ini berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, yakni Allah Subhanahu Wata’ala. Sebab, Tuhan Yang Maha Esa itu adalah Allah. Ditambah lagi dalam Muqaddimah UUD 1945 ditegaskan, republik ini merdeka “Atas Berkat Rahmat Allah…”
Bahkan, imbuh Habib Rizieq, dalam batang tubuh UUD 45 pasal 29 ayat 1 dipertegas lagi, “Negara berdasar Atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Jadi, kata Habib Rizieq, sungguh sangat sah jika Indonesia berada dalam NKRI Bersyariah—Negara Kesatuan yang melaksanakan dan menegakkan syariat Islam. Negara yang berlandaskan Islam, menjalankan syariat Islam, setidaknya bagi para pemeluknya—dan bukan Negara Pancasila, apalagi Negara Demokrasi.
_Rewrite post_
Kamis, 07 Maret 2013
Dibaca Sampai Selesai ya….
Suatu ketika selepas Ashar di Masjid Al Hikam. Di salah satu pojok masjid tersebut terdapat Ranid dengan dua orang temannya yakni Ahmad dan Ilmi yang terlihat sedang mendiskusikan sesuatu. Kali ini tema yang diangkat seputar masalah I’jazul Quran (Mukjizat Al Quran). Diskusi yang berjalan cukup santai namun sarat akan ilmu.
Ahmad adalah seorang mahasiswa salah satu PTS di Jakarta dengan program studi Matematika. Seorang calon pengabdi masyarakat dengan ilmunya. Ahmad selalu berupaya mengaitkan Al-Qur’an dengan bidang studinya matematika. Ahmad sering berkutat dengan angka-angka dalam Al-Qur’an.
Ahmad pun memulai diskusi. “Subhanallah.. alquran itu bener-bener mukjizat. Saya pernah baca di Internet bahwa ternyata kata YAUM (hari) di dalam alquran sebanyak 365 kata sama seperti jumlah hari dalam satu tahun, kata SYAHR (bulan) disebutin 12 kali sama kayak jumlah bulan dalam satu tahun, SAB’U (minggu) disebutin 7 kali sama dengan jumlah hari dalam seminggu. Belum lagi kata-kata yang berlawan kata. Misalnya AD DUNYA 115 kali, AL AKHIROH juga 115 kali. MALAIKAT 88 kali sedangkan ASY SYAYATHIN 88 kali juga. AL HAYAT 145 kali begitupun dengan AL MAUT yang juga 145 kali. Belum lagi angka 19 yang disebutin dalam alquran surat Al Mudatsir ayat 30. Sebetulnya masih banyak tapi mending antum liat di internet aja nafsi-nafsi, tinggal tanya mbah google ketik keyword-nya ‘keajaiban angka dalam alquran’,” Celoteh Ahmad sekaligus mengakhiri presentasinya.
Tiba giliran Ranid memaparkan pengetahuannya seputar masalah mukjizat Quran. Ranid memang sangat menyenangi diskusi-diskusi tentang kajian Islam berhubung program studi Ranid adalah bahasa Arab yang ia geluti di salah satu Ma’had Lughoh di Jakarta. Maka ia akan memaparkan sepengetahuannya tentang I’jazul Quran dari sudut pandang bahasa.
Setelah mengucapkan basmalah seraya memuji Allah dengan hamdalah, serta sholawat kepada Nabi SAW. Ranid pun mulai berkata “Mumtaz! ustadz Ahmad mantep dah penjelasannya, giliran ane ya? Begini.. mukjizat kalo diliat dari segi bahasa maka secara sederhana dapat diartikan sebagai ‘senjata’ untuk melemahkan terhadap tantangan dakwah yang ada. Contoh di zaman nabi Musa AS berhubung waktu itu sihir sedang ngetrend-ngetrendnya maka Allah kasih mukjizat nabi Musa AS ‘menyerupai’ sihir, tapi bukan sihir, dengan tongkatnya yang terkenal. Bisa berubah jadi ular, ngebelah lautan, dsb. Trus di zaman nabi Isa AS berhubung waktu itu ilmu kedokteran lagi maju-majunya maka Allah kasih kepada nabi Isa AS mukjizat yang berhubungan dengan dunia pengobatan. Nah, di zaman Rasul SAW pada masa itu kaum jahiliyyah terkenal akan syairnya yang luar biasa Indahnya. Maka Allah pun memberikan kepada Nabi SAW berupa alquran sebuah mukjizat yang begitu sangat tinggi dan sarat akan nilai sastranya.”
Ranid masih melanjutkan pemaparannya “bahkan Allah nantangin mereka kaum kafir untuk buat satu surat saja yang semisal dengan alquran. Coba ente berdua buka Al-Baqoroh ayat 23,
“Dan jika kamu meragukan Al-Quran yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) maka buatlah satu surat semisalnya dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah jika kamu orang yang benar”
dan dilanjutan ayatnya, menjelaskan bahwa Allah sudah kasih garansi, bahwa mereka pasti gak akan mampu ngebuatnya.”
Pernah ada kisah tentang Musailamah Al-Kadzdzab yang coba-coba buat alquran tandingan. Salah satu suratnya niru-niru al-fiil. Dan surat gadungan itu ditertawakan banyak orang karena diliat dari sisi bahasa dan maknanya betul-betul jelek. Dan satu hal lagi cuma alquran kitab suci yang bisa dihafal oleh jutaan manusia walaupun manusianya itu sendiri pun tidak mengetahui arti alquran. Bahkan uniknya juga, hafalannya tersebut lengkap sampai titik dan komanya. Subhanallah maha benar Allah dalam firmanNya ‘dan sungguh Kami mudahkan Al-Quran untuk peringatan’ - Al-Qomar ayat 17,” Ranid pun mengakhiri makalah yang dibawakannya.
Selanjutnya giliran Ilmi yang mendapat giliran menjelaskan mukjizat quran berdasarkan studi yang ia geluti. Ilmi adalah seorang mahasiswa IT di salah satu PTS di Jakarta. Berbeda dengan kedua orang sahabatnya tadi, Ikhwan lajang ini tengah mengerjakan tugas akhir dalam perkuliahannya. Hal ini dikarenakan Ilmi terlebih dahulu kuliah selepas SMA daripada Ahmad dan Ranid yang sempat menunda jenjang akademisnya.
Lengkap dengan stelan kacamata khas para hacker di film Hollywood, Ilmi pun memulai pembicaraannya. “sebenernya ane belum mau mengatakan ini mukjizat atau gak? terus terang ane gak berani. Tapi salah satu point yang pernah ane dengar dalam seminar Qur’an bahwa kenapa Qur’an disebut mukjizat tak lain dan tak bukan adalah karena kebenarannya dalam ‘meramal’ masa depan. Betul gak Ran?” Ilmi bertanya pada Ranid. Ranid pun mengiyakan pernyataan Ilmi dengan menganggukan kepala, seolah tak mau kehilangan pemaparan dari Ilmi sahabatnya.
Ilmi melanjutkan “surat Al-Lahab contohnya, di situ Allah memastikan bahwa Abu Lahab bakalan tetap kafir dan masuk neraka. Dan ketika surat itu turun di Mekkah, Abu Lahab ternyata masih hidup. Sekarang coba antum bayangin kalo seandainya Abu Lahab itu tergerak hatinya untuk masuk Islam atau pun pura-pura masuk Islam maka Al-Quran akan dipertanyakan kebenarannya dari dulu sampai sekarang. Ataupun di surat Ar-Rum di situ dijelaskan bahwa Romawi bakalan menang melawan Persia. Dan itu subhanallah terjadi beberapa tahun kemudian. Setelah pada peperangan yang sebelumnya Romawi kalah maka pada peperangan selanjutnya Romawi menang telak.
Dan satu lagi peristiwa fathul Mekkah di surat Al-Fath. Allah memastikan kaum Muslimin akan memasuki Mekkah setelah sekian lama hijrah ke Madinah. Dan subhanallah hal itu terbukti.”
Fenomena Al-Fisbukiyyah dalam Al-Qur’an
“Ah itu mah dari aspek sejarah Mi, coba dari aspek IT sesuai sama studi ente?” Tanya Ranid seolah menantang Ilmi. “Weitss, tenang-tenang ane kan belum selesai jelasinnya, ana lanjut ya!” Jawab Ilmi. “Nah berhubung tadi ane bilang ana gak berani nyebut ini mukjizat atau nggak, maka ane akan bilang ini kehebatan Qur an.” Ilmi masih melanjutkan, sementara kedua rekannya Ahmad dan Ranid masih terus diam dan menyimak kata per kata yang akan terlontar dari mulut Ilmi. “ente berdua tau gak, bahwa sejak 1400 tahun yang lalu alquran sudah menyinggung tentang Facebook dan kawan-kawannya?!” Ahmad sang Cagur (Calon Guru) tertegun diiringi dengan tertawa kecil seolah tak percaya statement Ilmi. Lain lagi dengan Ranid yang masih berpikir dan mencari-cari bahwa apakah benar kata Facebook ada di dalam alquran. Dengan mencoba mentashrif pola-pola fi’il.
Ilmi meneruskan kembali pemaparannya “Ahmad, coba ente berdua buka surat Al-Ma’arij ayat 19-21.
“Sungguh, manusia diciptakan bersifat suka mengeluh. Apabila dia ditimpa kesusahan, ia berkeluh kesah. Dan apabila mendapat kebaikan dia jadi kikir”
Ayat ini menjelaskan fenomena jama’ah “Al-Fisbukiyyah” secara umum. Coba ente-ente liat wirid-wirid mereka.
Kebanyakan isinya keluh kesah. Temanya udah mirip sinetron mendayu-dayu sampai bikin air mata keluar. Sakit dari mulai bisul, cantengan, jerawat, sampai ayan di update di status. Cuaca juga gak ketinggalan. Dikasih hujan, ngeluh gak bisa kemana-mana. Dikasih panas ngeluh kepanasan. Segala maksiat juga disebarin di muka umum. Masalah duit abis, rezeki seret terus dan terus di suguhkan. Ibadah juga ada beberapa yang dipublikasikan puasa, sedekah, tapi alhamdulillah ane belum menemukan ada orang yang lagi sholat update status ‘lagi roka’at dua nih’ naudzubillah kalo sampai ada!” canda Ilmi.
Ahmad dan Ranid pun tertawa dan mengaminkan ucapan Ilmi. “Terus di ayat setelahnya dikatakan ‘apabila dapat kebaikan maka ia kikir.’ Ane rasa betul ayat tersebut. Coba ente berdua hitung ada beberapa orang yang update status semisal, alhamdulillah dapet rezeki, buat yang mau ditraktir harap tunggu di depan masjid. Kira-kira ada gak status kayak gitu? Giliran dapat rezeki yang melimpah pada pelit gak mau orang lain pada tau, tapi giliran ditimpa musibah di share kemana-mana.”
“Ah, lo iri aja kali jangan sok jaim deh?!” Kali ini Ahmad yang bertanya kepada Ilmi. Ilmi pun menjawab “ane rasa jaim itu perlu, dalam konteks JAIM, Jaga-Iman berkaitan dengan hal malu, ane tidak mengharamkan update status, akan tetapi alangkah baiknya update-nya itu yang baik-baik pokoknya temanya mengajak kebaikan dari quran, hadits, sahabat, ataupun salafush sholih. Inget akh dalam hadits riwayat Bukhori dikatakan Jika kamu tidak malu, maka berbuatlah sesukamu. Ulama bilang bahwa jika kita udah gak malu sama Allah dan tidak merasa diawasinya maka tunaikan saja hawa nafsumu dan lakukan apa yang kau inginkan.” Jawab Ilmi.
Ranid tak menyangka sahabatnya Ilmi dapat menarik dan mengaitkan surat Al-Ma’arij ayat 20-22 dengan fenomena Facebookers yang bergentayangan di dunia maya. Alhamdulillah bertambah satu lagi pengetahuan Ranid pada hari itu. Sungguh Ranid sejatinya sudah sering membaca atau bahkan menghafalkan surat ini. Namun dikarenakan kurang men-tadabbur-i ayat ini maka alangkah kagetnya ia mendengarkan penjelasan yang dipaparkan oleh sahabatnya Ilmi.
Diskusi kali ini pun berakhir seiring dikumandangkannya adzan maghrib sebagai pertanda masuknya waktu sholat maghrib.
Rabu, 06 Maret 2013
Theosofi di Indonesia
Selain ajaran Theosofi yang merusak akidah Islam, para aktivis Theosofi di Indonesia pada masa lalu banyak terlibat dalam berbagai aksi pelecehan terhadap ajaran Islam. Ironisnya, mereka adalah orang-orang yang disebut dalam buku-buku sejarah sebagai tokoh-tokoh nasional.
Dalam buku “Sejarah Indonesia Modern”, sejarawan MC Ricklef menyatakan, Theosofi di Indonesia pada masa lalu banyak terlibat dalam berbagai aksi pelecehan terhadap Islam. Bukan hanya ajarannya yang banyak berseberangan dengan akidah Islam sebagaimana banyak dipaparkan oleh penulis pada tulisan beberapa edisi lalu, namun juga para aktivis Theosofi yang merupakan elit-elit nasional pada masa lalu, juga banyak melakukan pelecehan terhadap Islam. Para aktivis Theosofi yang umumnya elit Jawa penganut kebatinan, menganggap Islam sebagai agama impor yang tidak sesuai dengan kebudayaan dan jati diri bangsa Jawa.
A.D El Marzededeq, peneliti jaringan Freemason di Indonesia dan penulis buku “Freemasonry Yahudi Melanda Dunia Islam” menyatakan tentang gambaran elit Jawa dalam kelompok Theosofi dan Freemasonry pada masa lalu. Marzededeq menulis, “Perkumpulan kebatinan di Jawa yang berpangkal dari paham Syekh Siti Jenar makin mendukung keberadaan Vrijmetselarij (Freemason). Para elit Jawa yang menganut paham wihdatul wujud (menyatunya manusia dengan Tuhan, red) yang dibawa oleh Syekh Siti Jenar, kemudian banyak yang menjadi anggota Theosofi-Freemasonry, baik secara murni ataupun mencampuradukkannya dengan kebatinan Jawa…” (hal.8)
Para elit Jawa dan tokoh-tokoh kebangsaan yang tergabung sebagai anggota Theosofi-Freemason di Indonesia pada masa lalu kerap kali berada di balik berbagai pelecehan terhadap Islam. Misalnya, mereka menyebut ke Boven Digul lebih baik daripada ke Makkah, mencela syari’at poligami, dan menyebut agama Jawa (Gomojowo) atau Kejawen lebih baik daripada Islam. Penghinaan-penghinaan tersebut dilakukan secara sadar melalui tulisan-tulisan di media massa dan ceramah-ceramah di perkumpulan mereka. Penghinaan-penghinaan itu makin meruncing, ketika para anggota Theosofi-Freemason yang aktif dalam organisasi Boedi Oetomo, berseteru dengan aktivis Sarekat Islam.
Pada sebuah rapat Gubernemen Boemipoetra tahun 1913, Radjiman Wediodiningrat, anggota Theosofi-Freemason, menyampaikan pidato berjudul “Een Studie Omtrent de S.I (Sebuah Studi tentang Sarekat Islam)” yang menghina anggota SI sebagai orang rendahan, kurang berpendidikan, dan mengedepankan emosional dengan bergabung dalam organisasi Sarekat Islam. Radjiman dengan bangga mengatakan, bakat dan kemampuan orang Jawa yang ada pada para aktivis Boedi Oetomo lebih unggul ketimbang ajaran Islam yang dianut oleh para aktivis Sarekat Islam. Pada kongres Boedi Oetomo tahun 1917, ketika umat Islam yang aktif di Boedi Oetomo meminta agar organisasi ini memperhatikan aspirasi umat Islam, Radjiman dengan tegas menolaknya. Radjiman mengatakan, “Sama sekali tidak bisa dipastikan bahwa orang Jawa di Jawa Tengah sungguh-sungguh dan sepenuhnya menganut agama Islam.”
Anggota Theosofi lainnya yang juga aktivis Boedi Oetomo, Goenawan Mangoenkoesoemo, juga melontarkan pernyataan yang melecehkan Islam. Adik dari dr. Tjipto Mangoekoesomo ini mengatakan, “Dalam banyak hal, agama Islam bahkan kurang akrab dan kurang ramah hingga sering nampak bermusuhan dengan tabiat kebiasaan kita. Pertama-tama ini terbukti dari larangan untuk menyalin Qur’an ke dalam bahasa Jawa. Rakyat Jawa biasa sekali mungkin memandang itu biasa. Tetapi seorang nasionalis yang berpikir, merasakan hal itu sebagai hinaan yang sangat rendah. Apakah bahasa kita yang indah itu kurang patut, terlalu profan untuk menyampaikan pesan Nabi?”
Goenawan Mangoenkoesomo adalah diantara tokoh nasional yang hadir dalam pertemuan di Loji Theosofi Belanda pada 1918, selain Ki Hadjar Dewantara, dalam rangka memperingati 10 tahun berdirinya Boedi Oetomo. Apa yang ditulis Goenawan di atas dikutip dari buku Soembangsih Gedenkboek Boedi Oetomo 1908-Mei 1918 yang diterbitkan di Amsterdam, Belanda. Dalam buku yang sama, masih dengan nada melecehkan, Goenawan menulis, “Jika kita berlutut dan bersembahyang, maka bahasa yang boleh dipakai adalah bahasanya bangsa Arab…”
Organisasi kepemudaan yang bercorak kebatinan Jawa pada masa lalu juga tak lepas dari pengaruh Theosofi-Freemason. Sejarah mencatat, organisasi kepemudaan ini disusupi kepentingan yang berusaha menyingkirkan Islam.
Dalam catatan sejarah, keluarnya Syamsuridjal dari keanggotaan Jong Java (Perkumpulan Pemuda Jawa) dan kemudian mendirikan Jong Islamietend Bond (JIB/ Perhimpunan Pemuda Islam) adalah karena organisasi Jong Java menolak untuk mengadakan kuliah atau pengajaran keislaman bagi anggotanya yang beragama Islam dalam organisasi ini. Sementara, agama Katolik dan Theosofi justru mendapat tempat untuk diajarkan dalam pertemuan-pertemuan Jong Java. Pada masa lalu, Jong Java adalah organisasi yang berada dalam pengaruh kebatinan Theosofi.
Sosok yang dianggap berpengaruh dalam menyingkirkan Islam dari organisasi Jong Java adalah Hendrik Kraemer, utusan Perkumpulan Bibel Belanda yang diangkat menjadi penasihat Jong Java. Sejarawan Karel Steenbrink dalam “Kawan dalam Pertikaian:Kaum Kolonial Belanda Islam di Indonesia 1596-1942? menulis bahwa Kraemer adalah misionaris Ordo Jesuit yang aktif memberikan kuliah Theosofi dan ajaran Katolik kepada anggota Jong Java. Di organisasi pemuda inilah, Kraemer masuk untuk menihilkan ajaran-ajaran Islam. (Lihat, Karel Steenbrink, hal.162-163)
Selain Syamsuridjal, permintaan agar Islam diajarkan dalam pengajaran di Jong Java juga disuarakan Kasman Singodimedjo. Kasman bahkan mengusulkan agar Jong Java menggunakan asas Islam dalam pergerakan dan menjadi pionir bagi organisasi-organisasi pemuda lain, seperti Jong Sumatrenan, Jong Celebes, dan Pemuda Kaum Betawi. Kasman beralasan, Islam adalah agama mayoritas di Nusantara, dan mampu menyelesaikan segala sengketa dalam organisasi-organisasi yang saat itu banyak terpecah belah. Karena tak disetujui, maka pada 1 Januari 1925, para pemuda Islam mendirikan Jong Islamietend Bond (JIB/Perkumpulan Pemuda Islam) di Jakarta. Dengan menggunakan kata “Islam”, JIB jelas ingin menghapus sekat-sekat kedaerahan dan kesukuan, dan mengikat dalam tali Islam.
Dalam statuten JIB dijelaskan tentang asas dan tujuan perkumpulan ini: Pertama, mempelajari agama Islam dan menganjurkan agar ajaran-ajarannya diamalkan. Kedua, menumbuhkan simpati terhadap Islam dan pengikutnya, disamping toleransi yang positif terhadap orang-orang yang berlainan agama. Dalam kongres pertama JIB, Syamsuridjal dengan tegas menyatakan, “Berjuang untuk Islam, itulah jiwa organisasi kita.”
Untuk mengkonter pelecehan-pelecehan terhadap Islam, para pemuda Islam yang tergabung dalam JIB kemudian mendirikan Majalah Het Licht yang berarti Cahaya (An-Nur). Majalah ini dengan tegas memposisikan dirinya sebagai media yang berusaha menangkal upaya dari kelompok di luar Islam yang ingin memadamkan Cahaya Allah, sebagaimana yang pernah mereka rasakan saat masih berada di Jong Java. Motto Majalah Het Licht yang tercantum dalam sampul depan majalah ini dengan tegas merujuk pada Surah At-Taubah ayat 32: “Mereka berusaha memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut-mulut mereka, tetapi Allah menolaknya, malah berkehendak menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang kafir itu tidak menyukai.”
JIB dengan tegas juga mengkonter pelecehan terhadap Islam, sebagaimana dilakukan oleh Majalah Bangoen, majalah yang dipimpin oleh aktifis Theosofi, Siti Soemandari. Majalah Bangoen yang dibiayai oleh organisasi Freemason pada edisi 9-10 tahun 1937 memuat artikel-artikel yang menghina istri-istri Rasulullah. Penghinaan itu kemudian disambut oleh para aktivis JIB dan umat Islam lainnya dengan menggelar rapat akbar di Batavia.
Sebelumnya, pada 1926, dua tahun sebelum peristiwa Sumpah Pemuda, para aktivis muda yang berasal dari Jong Theosofen (Pemuda Theosofi) dan Jong Vrijmetselaarij (Pemuda Freemason) sibuk mengadakan pertemuan-pertemuan kepemudaan. Pada tahun yang sama, mereka berusaha mengadakan kongres pemuda di Batavia yang ditolak oleh JIB, karena kongres ini didanai oleh organisasi Freemason dan diadakan di Loge Broderketen, Batavia. Alasan penolakan JIB, dikhawatirkan kongres ini disusupi oleh kepentingan-kepentingan yang berusaha menyingkirkan Islam. Apalagi, Tabrani, penggagas kongres ini adalah anggota Freemason dan pernah mendapat beasiswa dari Dienaren van Indie (Abdi Hindia), sebuah lembaga beasiswa yang dikelola aktivis Theosofi-Freemason.
Pada tahun 1922, sebagaimana ditulis oleh A.D El Marzededeq dalam “Jaringan Gelap Freemasonry: Sejarah dan Perkembangannya Hingga ke Indonesia” disebutkan bahwa di Loge Broderketen, Batavia, juga pernah terjadi aksi pelecehan terhadap Islam oleh salah seorang aktivis Freemason yang memberikan pidato pada saat itu dengan mengatakan, “Islam menurut mereka itu merupakan paduan kultur Arab, Yudaisme, dan Kristen. Indonesia mempunyai kultur sendiri, dan kultur Arab tidak lebih tinggi dari Indonesia. Mana mereka mempunyai Borobudur dan Mendut?
Para aktivis nasionalis sekular, terutama mereka yang aktif dalam organisasi Theosofi dan Freemason berusaha menjauhkan peran agama, khususnya Islam, dalam sistem pemerintahan. Negara tak perlu diatur oleh agama, cukup dengan nalar dan moral manusia.
Paham kebangsaan yang diusung oleh kelompok nasionalis sekular pada masa lalu di negeri ini adalah ideologi “keramat” yang netral agama (laa diniyah) dan kerap dibentur-benturkan dengan Islam. Kelompok nasionalis sekular, sebagaimana tercermin dalam pemikiran Soekarno dan para aktivis kebangsaan lainnya yang ada dalam organisasi seperti Boedi Oetomo, adalah mereka yang menolak agama turut campur dalam sistem pemeritahan. Mereka berusaha menjauhkan peran agama, khususnya Islam, dalam sistem berbangsa dan bernegara. Mereka menjadikan Turki sekular di bawah pimpinan Mustafa Kemal At-Taturk sebagai kiblat dalam mengelola pemerintahan.
Kiblat kelompok kebangsaan kepada Turki Sekular tercermin jelas dalam pernyataan tokoh Boedi Oetomo, dr Soetomo yang mengatakan, “Perkembangan yang terjadi di Turki adalah petunjuk jelas, bahwa cita-cita “Pan-Islamisme” telah digantikan oleh nasionalisme.” Dengan rasa bangga, saat berpidato dalam Kongres Partai Indonesia Raya (Parindra) pada 1937, Soetomo mengatakan,”Kita harus mengambil contoh dari bangsa-bangsa Jahudi, jang menghidupkan kembali bahasa Ibrani. Sedang bangsa Turki dan Tsjech kembali menghormati bangsanya sendiri.”
Tokoh Boedi Oetomo lainnya, dr Tjipto Mangoenkoesomo, juga dengan sinis meminta agar bangsa ini mewaspadai bahaya “Pan-Islamisme”, yaitu bahaya persatuan Islam yang membentang di berbagai belahan dunia, dengan sistem dan pemerintahan Islam di bawah khilafah Islamiyah. Pada 1928, Tjipto Mangoenkoesoemo menulis surat kepada Soekarno yang isinya mengingatkan kaum muda untuk berhati-hati akan bahaya Pan-Islamisme yang menjadi agenda tersembunyi Haji Agus Salim dan HOS Tjokroaminoto. Tjipto khawatir, para aktivis Islam yang dituduh memiliki agenda mengobarkan Pan-Islamisme di Nusantara itu bisa menguasai Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Jika mereka berhasil masuk dalam PPKI, kata Tjipto, maka cita-cita kebangsaan akan hancur.
Pernyataan Tjipto Mangoenkoesomo makin memperjelas sikap kalangan pengusung paham kebangsaan atau nasionalis sekular yang berusaha membendung segala upaya dan cita-cita Islam dalam pergerakan nasional dan pemerintahan di negeri ini. Sebelum kemerdekaan, perdebatan soal Islam dan kebangsaan antara kelompok nasionalis sekular yang diwakili oleh Soekarno dan kawan-kawan dengan kelompok Islam yang diwakili A. Hassan, M. Natsir, dan H. Agus Salim begitu menguat ke publik. Berbagai polemik tentang dasar negara menjadi perbincangan terbuka di media massa. Kelompok Islam menginginkan negara yang nantinya merdeka, menjadikan Islam sebagai landasan bernegara. Sementara kelompok nasionalis sekular berusaha memisahkan agama dan pemerintahan. “Manakala agama dipakai buat memerintah masyarakat-masyarakat manusia, ia selalu dipakai sebagai alat penghukum di tangan raja-raja, orang-orang zalim, dan orang-orang tangan besi,” kata Soekarno mengutip perkataan Mahmud Essad Bey.
Sarekat Islam (SI), sebagai organisasi pergerakan yang mengusung cita-cita Islam, melalui tokohnya HOS Tjokroaminoto memang menyerukan kepada SI untuk melancarkan gerakan tandzim guna mengatur kehidupan rakyat di lapangan ekonomi, sosial, budaya, menurut asas-asas Islam. Sedangkan H. Agus Salim, selain menyerukan perlawanan terhadap kapitalisme, juga menyerukan tentang kekhilafahan Islam dan Pan-Islamisme, sehingga berdiri apa yang disebut dengan Central Comite Chilafat. Nasionalisme dalam pengertian Salim adalah memajukan nusa dan bangsa berdasarkan cita-cita Islam.
Mohammad Natsir dalam Majalah Pembela Islam tahun 1931 menulis bahwa kelompok yang ingin memisahkan agama dari urusan negara adalah kelompok ”laa diniyah” (netral agama). Natsir menegaskan, ada perbedaan cita-cita antara kelompok kebangsaan dan para aktivis Islam tentang visi negara merdeka. Natsir menyatakan, kemerdekaan bagi umat Islam adalah untuk kemerdekaan Islam, supaya berlaku peraturan dan undang-undang Islam, untuk keselamatan dan keutamaan umat Islam khususnya, dan untuk semua makhluk Allah umumnya. Natsir menyindir kelompok nasionalis sekular dengan mengatakan, “Pergerakan yang berdasarkan kebangsaan tidak akan ambil pusing, apakah penduduk muslimin Indonesia yang banyaknya kurang lebih 85% dari penduduk yang ada, menjadi murtad, bertukar agama. Kristen boleh, Theosofi bagus, Budha masa bodoh.”
Sementara kelompok kebangsaan, terutama mereka yang aktif dalam organisasi Theosofi dan Freemason, mengampanyekan bahwa nasionalisme yang dibangun di negeri ini harus sesuai dengan doktrin humanisme, di mana manusia berhak menentukan hukum buatan sendiri yang bertujuan untuk mengabdi kepada kemanusiaan, tanpa campur tangan agama manapun. Van Mook, tokoh Freemason di Hindia Belanda ketika itu, dalam sebuah pidato di Loge Mataram, Yogyakarta, tahun 1924, mengatakan, “Freemasonry membimbing nasionalisme menuju cita-cita luhur dari humanitas.”
Paham humanisme yang dibawa oleh elit-elit kolonial, teruatama mereka yang aktif sebagai anggota Theosofi dan Freemason inilah yang kemudian “ditularkan” kepada “anak-anak didik” para priyai dan elit Jawa yang menjadi abdi kompeni. Mereka mengampanyekan soal kesamaan semua agama-agama, tidak percaya dengan hukum Tuhan dan mempercayai kodrat alam, dan tentu saja sebagaimana trend imperialisme negara-negara Eropa ketika itu, adalah mengampanyekan bahaya “Pan-Islamisme”, semangat solidaritas Islam dunia untuk membangun sebuah pemerintahan.
Karena itu, untuk membendung Pan-Islamisme di Nusantara, apalagi ketika itu banyak tokoh-tokoh Islam yang pulang dari haji dan menimba ilmu di Makkah juga menyuarakan Pan-Islamisme, maka pemerintah kolonial membentuk basis-basis tandingan dengan mendukung berdirinya organisasi-organisasi kebangsaan seperti Boedi Oetomo, Jong Java, dan lain sebagainya. Selain itu, mereka juga merangkul para priyai sebagai kepanjangan tangan pemerintah kolonial, memberi keluasan bagi anak-anak keturunan mereka untuk bersekolah di negeri Belanda, dan mendirikan pendidikan-pendidikan netral (neutrale onderwijs), yang berbasis pada pembentukan karakter manusia dengan berpedoman pada hukum kodrat alam.
Tak sedikit dari para elit dan priyai Jawa ketika itu, baik yang aktif dalam organisasi kebangsaan ataupun mereka yang menjabat sebagai residen, asisten residen, wedana, dan sebagainya yang masuk dalam organisasi Theosofi dan Freemason. Bahkan, tak sedikit juga dari mereka yang masuk sebagai anggota Rotary Club, sebuah lembaga kemanusiaan yang dibentuk oleh Zionisme Internasional. Pelecehan demi pelecehan terhadap Islam dilakukan oleh para pengusung kebangsaan, seperti pernyataan bahwa ke Boven Digul lebih baik daripada ke Makkah, pergi haji adalah upaya menimbun modal nasional untuk kepentingan asing, Islam adalah agama impor yang berusaha menjajah tanah Jawa, dan sebagainya.
Theosofi-Freemason tidak mempercayai adanya ritual doa kepada Sang Maha Pencipta. Mereka juga tak mempercayai adanya surga dan neraka. Anggota Theosofi yang mengaku muslim, membuat penafsiran ajaran Islam dengan pemahaman yang menyimpang.
Sebagai perkumpulan kebatinan yang meyakini bahwa Tuhan punya banyak nama, dan masing-masing agama hanyalah berbeda dalam memberi nama pada tuhannya, maka penganut Theosofi yang mengaku beragama Islam, menerjemahkan kalimat thayyibah “Laa Ilaaha Illallah” dengan “Tiada Gusti Allah, melainkan Gusti Allah”. Terjemah tersebut kemudian dijelaskan, bahwa pengertiannya ada dua macam: Pertama, kita tidak boleh percaya lain rupa kekuasaan atau lain kekuatan melainkan Gusti Allah punya kekuasaan sendiri. Kedua, yaitu yang Gusti Allah menempati badannya manusia. Keterangan mengenai ini ditulis dalam Majalah Pewarta Theosofi Boeat Tanah Hindia Nederland, 1906.
Makna pertama, meskipun seolah terlihat bagus, bahwa kita tidak boleh percaya kepada kekuasaan dan kekuatan selain yang dipunya Gusti Allah, namun Gusti Allah dalam pandangan Theosofi adalah Tuhan yang dimiliki oleh setiap agama-agama, yang merupakan kesatuan batin dalam keyakinan (esoteris). Tuhan dalam keyakinan Theosofi punya banyak nama: God, Yahweh, Sang Hyang, dan lain-lain, yang pada hakikatnya menurut mereka merujuk pada Zat Yang Satu, meskipun namanya berbeda-beda, meskipun agamanya berlainan rupa. Tokoh sekular pendiri Yayasan Paramadina, Nurcholish Madjid pernah membuat sebuah tulisan dengan judul “Satu Tuhan Banyak Jalan”.
Terjemahan menyimpang tentang kalimat “Laa Ilaaha Illallah” juga pernah dilakukan oleh mendiang Nurcholish Madjid. Ia menerjemahkan kalimat ”Laa Ilaaha Illallah” dengan “Tiada tuhan melainkan Tuhan”. Cak Nur yang merupakan lokomotif gerakan sekular di Indonesia ini membagi tuhan (dengan “t” kecil) dengan Tuhan (dengan “T” besar). Terjemahan Cak Nur dianggap mengacu pada terjemahan ala Barat dan Bibel, yang menyebut Tuhan dengan sebutan “god” (dengan “g” kecil) dan “God” (dengan “G” besar). Dalam Kitab Mazmur 109:1, 2 disebutkan “Tuhan telah bersabda kepada tuhanku.”
Dalam Islam, kata “Allah” adalah lafzhul jalalah (lafazh yang tinggi dan mulia), yang disebut dalam Al-Qur’an sebanyak 2679 kali, yang semuanya dalam bentuk singular (mufrad) atau tunggal. Allah dalam keyakinan Islam adalah “al-ma’bud bi haqqin”, Zat satu-satunya yang berhak untuk disembah, yang tidak ada bandingan-Nya, tidak ada yang menyerupai-Nya, tidak berbilang dan tidak memiliki nama-nama lain, kecuali Al-Asma’ Al-Husna yang merupakan sifat-sifat keagungan-Nya. Kata “Allah” tidak bisa diartikan dengan “Tuhan” sebagaimana kata “al-ilah”. (Lihat, Ahmad Husnan, Jangan Terjemahkan Al-Qur’an Menurut Visi Injil dan Orientalis, Jakarta: Media Dakwah, 1987)
Makna kedua dari kalimat “Laa Ilaaha Illallah” ala terjemah Theosofi, yaitu yang Gusti Allah menempati badannya manusia, adalah keyakinan kufur yang mengacu pada paham wihdatul wujud atau al-hulul. Paham ini pada masa lalu dikenal di Nusantara dengan istilah ”manunggaling kawula gusti”, yaitu keyakinan bahwa manusia dan Tuhan itu manunggal, sebagaimana keyakinan yang dibawa oleh Syekh Siti Jenar alias Syekh Lemah Abang. Theosofi menyebut manunggalnya manusia dengan Tuhan sebagai pancaran yang disebut dengan istilah “pletik Ilahi (God in being)”.
Manusia sejati (ingsun sejati) dalam keyakinan Theosofi adalah manusia yang mengamalkan lelaku batin sehingga bisa manunggal dengan Tuhan. Manusia sejati adalah pancaran dari gambaran Tuhan. Maka Manusia Sejati harus mengamalkan asas-asas Ilahi, yaitu kasih sayang, kebenaran, dan kesatuan hidup. “Dengan mengenal diri kita sendiri, kita akan mengenal Tuhan, Kasunyatan Hidup, Kebenaran. Tuhan itu Hidup, Jalan, Kebenaran, Kasih. Allah kasih meliputi segala-galanya. Allah adalah semua dalam semua. Kita Hidup, bergerak, dan ada di dalam Dia. “ Inilah yang disebut dengan pletik ilahi atau God in being. (PB Perwathin, No. 5, Tahun VIII, Mei 1973). Sang Kasih, menurut Theosofi, menggabungkan semua dalam kesatuan.
Keyakinan soal manunggalnya hamba dengan Tuhan juga diungkapkan tokoh Boedi Oetomo, dokter Soetomo. Dalam buku “Kenang-kenangan Dokter Soetomo” yang dihimpun oleh Paul W van der Veur, disebutkan bahwa Soetomo pernah mengatakan bahwa pemancaran zat Tuhan,”Itulah sebenarnya keyakinan saya. Itulah keyakinan yang mengalir bersama darah dalam segala urat tubuh saya. Sungguh, sesuai-sesuai benar.” (hal. 30). Soetomo juga mengatakan, “Aku dan Dia satu dalam hakikat, yakni penjelmaan Tuhan. Aku penjelmaan Tuhan yang sadar…” (hal.31).
Soetomo sebagaimana para penganut kebatinan Theosofi lainnya, tidak melakukan shalat lima waktu selayaknya umat Islam lainnya, melainkan melakukan semedi, meditasi, yoga, dan sebagainya. “Soetomo lebih mementingkan “semedi” untuk mendapat ketenangan hidup, ketimbang sembahyang,” tulis Paul W van der Veur (hal.31). Karena cukup hanya dengan semedi, maka para penganut kebatinan juga tidak melakukan ritual doa kepada Sang Maha Kuasa. Bagi mereka semedi yang melahirkan sikap eling sudah cukup untuk mendekatkan diri pada Tuhan.
Pendiri Theosofi, Helena Petrovna Blavatsky dalam bukunya “Kunci Pembuka Ilmu Theosofi (The Key to Theosophy)” menyatakan bahwa Theosofi tidak percaya dengan doa, dan tidak melakukan doa. Theosofi mempercayai “doa kemauan” yang ditujukan kepada Bapak di sorga dalam artian esoteris, yaitu Tuhan yang tidak ada sangkut pautnya dengan bayangan manusia, atau Tuhan yang menjadi intisari ilahiah yang dimiliki semua agama. Berdoa, kata Blavatsky mengandung dua unsur negatif: Pertama, membunuh sifat percaya diri manusia yang ada dalam diri manusia sendiri. Kedua, mengembangkan sifat mementingkan diri sendiri. (hal.50).
Dalam Islam tentu berbeda, umat Islam dianjurkan untuk berdoa sebagai sarana memohon pertolongan, memohon perlindungan, mengadukan segala persoalan kepada Allah, Rabbul alamin. Berdoa juga wujud dari sikap rendah hati seorang hamba dengan Tuhannya, selain juga sarana untuk berkomunikasi secara intim dengan Sang Maha Pencipta.“Memohonlah kepada-Ku, maka niscaya Aku akan kabulkan permohonanmu…” (QS. Ghafir: 60). Di ayat lain, Allah berfirman,“Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al Baqarah [2]: 153)
Selain tidak menjalankan ritual doa, Theosofi-Freemason juga tidak meyakini adanya dosa dan pahala, surga dan neraka, bahkan tidak mengakui adanya hukum Tuhan. Mereka berkeyakinan adanya hukum “kodrat alam”, di mana ganjaran kebaikan dan hukuman bagi kejahatan ditentukan oleh kodrat alam dan hati nurani. Keyakinan Theosofi menyatakan, “Kalau Anda berbuat, maka akan ada orang yang membalas berbuat baik. Kalau Anda berbuat jahat, maka akan ada orang yang membalas kejahatan Anda. That’s all, ini saja.” Inilah yang disebut dengan “kodrat alam.”
Keyakinan ini tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan Islam. Dalam Islam, orang yang berbuat baik, selain dapat balasan dari manusia di dunia, juga akan mendapat balasan pahala dari Allah di akhirat kelak. Begitu juga, jika berbuat jahat, selain mendapat balasan kejahatan di dunia, juga akan mendapatkan dosa di akhirat. Orang Islam yang beriman dan beramal shaleh akan masuk surga, orang-orang yang mengaku Islam namun berbuat kejahatan dan kemusyrikan, apalagi mereka yang di luar Islam atau kafir maka akan mendapatkan balasan di neraka. Inilah hukum Tuhan, karena Islam meyakini ada kehidupan lagi setelah kematian nanti.
[Rewrite]
Syiah Dipelihara Di Amerika
Dalam sebuah diskusi, saya merasa bengong ketika disana disimpulkan, bahwa Syiah yang beroperasi di negeri-negeri Sunni (seperti Indonesia), sebenarnya dipelihara oleh Amerika. Disana dikatakan: “Ahmadiyah dipelihara oleh Inggris, sedangkan Syiah dipelihara oleh Amerika.” Saya merasa, ini kejutan atau pencerahan yang sangat berbeda. Namun ketika merunut kepada data-data, fakta, serta kejadian-kejadian; saya baru bisa percaya kalau Syiah Imamiyah (Rafidhah) memang dipelihara Amerika.
MUI (Pusat) atau Pemerintah RI selama ini sangat susah untuk menetapkan Syiah dan Ahmadiyyah sebagai aliran sesat, sehingga keduanya harus dilarang beroperasi; karena adanya tekanan dari Amerika, Inggris, Australia, Kanada, dan negara-negara besar lainnya. Mereka bahu-membahu untuk memelihara faktor destruktif di tengah-tengah kehidupan kaum Muslimin Indonesia. Makanya, ketika ada sebuah ormas Islam sangat antipati kepada Ahmadiyah dan Liberal, tetapi bersikap “main mata” kepada Syiah, hal itu dipahami bahwa ormas tersebut tidak mau memikul beban terlalu berat, dalam menghadapi tekanan Inggris, Amerika, Kanada, Australia, dan kawan-kawan. Padahal sudah standar Ahlus Sunnah dimana saja, yaitu: Anti Sekularisme, anti Syiah, anti Ahmadiyah, anti Liberal, anti Kristenisasi, dan anti Zionisme. Ini sudah pakem khas Ahlus Sunnah!
Banyak data-data bisa disampaikan, bahwa Syiah Rafidhah memang dipelihara oleh kepentingan imperialis Amerika (atau secara umum imperialis Barat). Soal di atas permukaan ada retorika-retorika anti Amerika dari kalangan Syiah, itu hanya kamuflase saja, untuk menutupi fakta sebenarnya. Biasa kan ada sandiwara “bertema konflik” untuk menutupi “hakikat kemesraan” yang tidak terlihat.
Mari kita coba lihat data-datanya…
1. Khomeini itu sejak muda (remaja) tinggal di Perancis. Disebutnya, tinggal di pengasingan. Baru menjelang Revolusi Syiah tahun 1979, dia pulang kampung. Tinggal di Perancis sejak muda sampai jenggotnya agak memutih, dapatkah dikatakan bahwa Khomeini bersih dari invasi pemikiran dan politik yang dipaksakan Barat kepadanya? Sangat tidak mungkin. Rata-rata semua tokoh politik dari Asia yang pernah diasuh di negara Barat, rata-rata kalau pulang ke negeri masing-masing akan membawa agenda politik dari “majikan-nya”.
2. Sebelum Iran dikelola oleh Khomeini dan kawan-kawan, penguasa politik disana ialah Reza Pahlevi. Sebenarnya orang ini Syiah juga dan menjadi boneka Amerika. Tetapi Pahlevi lebih kental dunia politiknya, sedangkan Khomeini terkenal dengan IDEOLOGI Syiah-nya. Ketika Barat mencabut peran Pahlevi dan menggantikannya dengan Khomeini; hal itu terjadi karena mereka ingin mengubah strategi, dari pendekatan politik menjadi pendekatan ideologi; dengan menjadikan akidah Syiah Imamiyah Itsna Asyari sebagai basisnya. Akidah ini jauh lebih berbahaya ketimbang manuver-manuver politik Reza Pahlevi. Sebab pada hakikatnya, akidah Imamiyah Itsna Asyari (atau Syiah Rafidhah) adalah kekufuran yang nyata. [Kalau ada ketua ormas Islam tertentu yang ragu dengan kekufuran akidah Syiah ini, saya ajak beliau untuk berdebat terbuka, bi idznillahil 'Azhim].
3. Banyak sandiwara dilakukan untuk menutupi misi sebenarnya, bahwa Khomeini sebenarnya adalah boneka Amerika, tak ubahnya seperti Reza Pahlevi. Pertama, Amerika tidak segera menginvasi Iran di bawah kepemimpinan Khomeini, seperti mereka menginvasi negara-negara yang penguasanya digulingkan tanpa restu Amerika. Kedua, disana digambarkan bahwa ada sekian puluh helikopter marinir Amerika saling bertabrakan satu sama lain ketika hendak menyerang Iran. Bukti-bukti seputar serangan helikopter yang gagal ini tidak banyak diperoleh, selain dari info-info media. Benarkah heli-heli itu bertabrakan, atau sengaja di-setting agar bertabrakan? Atau jangan-jangan semua itu hanya opini media saja, tanpa bukti yang jelas? Bandingkan cara Amerika itu dengan invasi mereka ke Irak, Afghanistan, Columbia, Vietnam, bahkan infiltrasi ke Indonesia (pada peristiwa PKI 65). Ketiga, sepertinya ada “solusi damai” antara Amerika dengan keluarga Reza Pahlevi, sehingga setelah itu tidak ada “dendam politik” keluarga Pahlevi kepada Khomeini. Padahal layaknya tokoh-tokoh politik Persia, tabiat dendam sangatlah dominan. Keempat, secara massif Khomeini melakukan kampanye, bahwa Amerika adalah SETAN BESAR. Kampanye ini mendapat respon besar di dunia Islam. Karena ia memang sebuah strategi untuk mendapatkan SIMPATI kalangan Dunia Islam, yang mayoritas Ahlus Sunnah dan anti Amerika. Kelima, tidak lama setelah Revolusi Iran, negara itu terlibat dalam konflik besar Iran Versus Irak di bawah Sadam Husein. Ending dari konflik Iran-Irak ini, malah Irak dimusuhi oleh Amerika dan Sekutu, serta negara-negara Timur Tengah; setelah Irak menginvasi Kuwait pada tahun 1990.
4. Sejak lama Iran selalu dikaitkan dengan isu anti Amerika dan anti Israel. Bahkan ia masuk dalam kategori “axis of evils” (negara-negara poros kejahatan). Tetapi ia sendiri tidak pernah sedikit pun terlibat dalam perang melawan Amerika, atau perang melawan Israel (musuh bangsa Arab di Timur Tengah). Jadi sebagian besar perang disini sifatnya hanya “kampanye verbal” saja. Tidak heran jika Iran kerap dijuluki sebagai NATO (no actions talk only). Begitu juga, Hamas semakin terjebak dalam posisi sulit ketika organisasi itu menjalin kerjasama dengan Teheran. Iran adalah negara yang paling menikmati hasil kampanye anti Amerika dan Israel; tetapi pada saat yang sama, dia tidak pernah terlibat perang sedikit pun melawab Amerika dan Israel.
5. Tidak diragukan lagi, bahwa Syiah Iran turut membantu invasi Amerika ke Afghanistan dan Irak. Katanya, dua invasi ini tidak akan pernah berhasil, tanpa bantuan Syiah Iran. Dulu di zaman Pemerintahan Burhanuddin Rabbani (Mujahidin), Syiah telah menelikung pemerintahan itu melalui Jendral Rasyid Dustum di bagian Utara. Begitu juga Pemerintahan Irak saat ini, pasca invasi Amerika ke Irak, presidennya Jalal Talabani dan PM-nya Nuri Al Maliki, keduanya adalah bagian dari penganut Syiah. Lihatlah, Amerika lebih ridha Irak di bawah pemimpin Syiah daripada negara itu di bawah Saddam Husein yang merupakan bagian masyarakat Sunni.
6. Kita tentu masih ingat skandal Iran-Contra pada waktu-waktu lalu. Singkat kata, Iran dikesankan sangat bermusuh-musuhan dengan Amerika. Tetapi lewat skandal itu terbukti, Iran bekerjasama mesra dengan Amerika. Iran memasok minyak ke Amerika, lalu hasil keuntungan jual-beli minyak “ilegal” ini oleh Amerika disalurkan untuk membiayai gerakan Kontra di Kolumbia. Iran sendiri merasa diuntungkan, sebab mendapat penghasilan untuk membiayai kebutuhan mereka (khususnya untuk biaya konflik dengan Irak). Sandiwara besar abad 20 ini akhirnya terkuak, baik Iran maupun Amerika menanggung malu. Lalu dengan entengnya Amerika mengorbankan Kolonel Oliver Stone sebagai tokoh yang bertanggung-jawab atas skandal memalukan itu.
7. Fakta besar yang tidak diragukan lagi, bahwa Iran memiliki reaktor nuklir yang dikembangkan untuk kebutuhan energi dan militer. Hal ini sudah tidak diragukan lagi. Berulang kali Amerika, Inggris, dan Sekutu mengancam akan menyerang Iran. Tetapi hal itu tidak pernah terjadi, bahkan tidak akan terjadi; karena mereka sebenarnya satu kepentingan. Bandingkan, ketika Amerika mengancam negara-negara Muslim Sunni, seperti Irak dan Afghanistan; sekali diancam, langsung dihajar, meskipun akibatnya ekonomi Amerika mesti ambruk.
8. Di Indonesia, posisi Syiah selalu dibela oleh tokoh-tokoh Liberalis, seperti Azyumardi Azra, Syafi’i Ma’arif, Dawam Rahardjo, Said Aqil Siradj, bahkan Amien Rais. Belakangan, Mahfud MD ikut-ikutan membela Syiah dan berlagak memojokkan kaum Sunni di Madura. Anda pasti paham mengapa tokoh-tokoh Liberal ini selalu melindungi Syiah? Ya, karena memang job description-nya, mereka harus membela Syiah.
9. Media cetak yang sangat giat membela Syiah sejak zaman Orde Baru adalah majalah Tempo. Media ini punya peran besar dalam mempromosikan citra positif Syiah di mata kaum Muslimin Indonesia; media ini benar-benar telah banyak menyesatkan opini rakyat Indonesia, seputar Syiah. Media ini sejak lama dikomandoi Goenawan Mohamad, salah seorang jurnalis yang sejak lama disinyalir sebagai kaki tangan Amerika di Indonesia.
10. Abdurrahman Wahid termasuk salah satu tokoh pro Zionis yang banyak mendukung dan membela Syiah. Dia berdalih, “Membela minoritas.” Tetapi pada saat yang sama, dia justru sangat anti dengan minoritas aktivis Islam, yang selalu menjadi bulan-bulanan politik Orde Baru dan Orde Reformasi. Katanya membela minoritas, tetapi kok malah acuh tak acuh dengan kezhaliman rezim terhadap para aktivis Islam yang sebenarnya minoritas itu? Wahid sama sekali tidak pernah membela keluarga korban Tanjung Priok, Talangsari Lampung, DOM Aceh, korban konflik Ambon, korban konflik Poso, korban pembantaian Sampit (Sambas), tahanan politik Muslim, bahkan tidak pernah membela tokoh-tokoh Petisi 50 yang notabene kalangan umum. Di zaman Orde Baru, Wahid menjadi bagian dari anggota MPR Fraksi Golkar, dan sangat mendukung kekejaman rezim terhadap para aktivis Islam. Nah, itulah sosok “dajjal kecil” yang sering dielu-elukan sebagai “pembela minoritas”. Di zaman Orde Baru, posisi Syiah selalu dalam pengawasan ketat; tetapi di era Wahid, atau tepatnya tahun 2001, berdirilah IJABI, ormas Syiah pertama di Indonesia. Ormas ini juga direstui si orang itu, sehingga di mata penganut Syiah, nama Wahid begitu harum.
11. Berulang kali kita saksikan bagaimana Said Aqil Siradj membela Syiah, melindungi Syiah, sembari tangan dan mulutnya terus-menerus menyerang kaum Wahabi. Tapi lucunya, Said Aqil ini tidak berani berhadap-hadapan dengan pengurus PWNU Jawa Timur, atau MUI Jawa Timur, atau MUI Madura yang jelas-jelas telah memfatwakan kesesatan Syiah. Pernah pengurus PWNU Jawa Timur datang ke kantor PBNU di Jakarta, untuk menyerahkan fatwa Syiah sesat yang telah mereka sepakati. Waktu itu mereka sudah siap audiens dengan pengurus PBNU, termasuk Si Said Aqil. Sampai pertemuan selesai, Si Said tidak menemui para pengurus PWNU Jatim. Alasannya, “Lagi macet di jalan.” Inna lillahi wa inna ilaihi ra’jiun. Said, Said…orang sepertimu kok beralasan “jalanan macet”? Beberapa waktu lalu Said ini datang ke Amerika, berkunjung ke Bank Dunia. Disana dia diberikan komitmen dukungan dana unlimitted, untuk memerangi terorisme (yang nanti ujung-ujungnya tuduhan itu dia arahkan ke Wahabi; semoga Allah Ta’ala membinasakan manusia yang satu ini dan para loyalisnya karena kekejian fitnah mereka; amin Allahumma amin). Kalau kembali ke momen pemilihan Ketua PBNU di Makassar, pada tahun 2010. Seminggu sebelum pemilihan ketua, dua kandidat calon ketua PBNU dipanggil ke Cikeas untuk bertemu Pak Beye. Entahlah, apa yang dikatakan Beye dalam pertemuan itu. Pokoknya setelah itu Shalahuddin Wahid terlihat tidak semangat memperebutkan kursi Ketua PBNU. Dan akhirnya, Said Aqil Siradj ini yang terpilih sebagai Ketua PBNU. Dulu di masa kepemimpinan Wahid sebagai Presiden RI, Si Said ini amat sangat loyal; sehingga berkali-kali dia menyerang Amien Rais dengan perkataan kasar. Salah satunya, kurang lebih, “Itu warga NU di bawah, sedang mengasah golok.”
12. Di Indonesia berkali-kali terjadi kerusuhan bermotif isu agama. Salah satunya dalam isu Syiah, seperti peristiwa Sampang, Bangil (Pasuruhan), penusukan ustadz NU di Jember, dan lainnya. Tetapi SBY rata-rata tidak pernah bersuara tentang kerusuhan ini. Jika ada komentar, ia selalu memojokkan kalangan Sunni dan menguntungkan posisi Syiah; seperti dalam komentar terakhir dia soal kasus Sampang kemarin. Pertanyaannya, sebagai kepala negara, mengapa SBY tidak berusaha melindungi akidah mayoritas kaum Muslimin di Indonesia yang bermadzhab Ahlus Sunnah? Kok dia justru lebih peduli dengan kelompok minoritas Syiah? Ya, kita tahulah, siapa SBY…
13. Ketika merebak isu “war on terror” di dunia, Indonesia gegap gempita menyambut isu tersebut. Salah satu akibatnya, kesempatan beasiswa belajar di Saudi diawasi sangat ketat. Sejak proses seleksi, pemberangkatan, hingga kuota beasiswa itu, diawasi sedemikian rupa. Banyak pelajar yang sedianya ingin belajar agama, merasa kesulitan. Termasuk dalam urusan kerja, bisnis, dagang, dan lainnya. Tetapi sebaliknya, kerjasama beasiswa, kunjungan tokoh, serta dakwah dengan Iran justru semakin marak. Ribuan pelajar Indonesia saat ini lagi nyantri di Iran; nanti kalau pulang mereka akan mendakwahkan agama perbudakan manusia atas manusia yang lain (pada hakikatnya, setiap pribadi Syiah adalah budak dari imam-imam Syiah di Persia).
14. Sampai detik ini, Amerika tidak pernah menjadikan para aktivis Syiah sebagai sasaran “war on terror” sebagaimana mereka menjadikan kaum Wahabi sebagai sasaran itu. Padahal kalau melihat “kampanye verbal” dari para dai-dai Syiah, mereka TAMPAK sangat anti Amerika dan Zionis. Kalangan Wahabi yang hati-hati saat bicara tentang Amerika, tidak segan-segan diteroriskan; sedangkan aktivis Syiah yang sehari-hari dzikirnya menyerang Amerika dan Zionis (tentu saja, dengan menyerang para Shahabat dan isteri-isteri Nabi Radhiyallahu ‘Anhum), tidak pernah diapa-apakan. Coba lihat, dalam kasus Sampang kemarin, aktivis Syiah membuat ranjau dari bom ikan dan paku-paku; tetapi Densus 88 tidak pernah menyatroni rumah Tajul Muluk dan kawan-kawan.
15. Ketika sebagian aktivis Muslim melakukan latihan militer, untuk persiapan jihad ke Palestina, pasca terjadi Tragedi Ghaza 2008-2009 lalu; mereka segera ditangkapi dan diposisikan sebagai teroris. Tetapi terhadap aktivis Syiah yang melakukan latihan-latihan militer, tidak ada satu pun yang ditangkapi aparat. Bahkan ada yang bilang, mereka dilatih oleh instruktur baret merah. Jadi ini seperti lelucon yang terus diulang-ulang. Betapa sensitif aparat keamanan kepada para pemuda Sunni, ketika mereka ingin berjuang ke Palestina; tetapi tidak sensi sama sekali kepada aktivis-aktivis Syiah yang terus menyusun kekuatan milisi.
Singkat kata, eksistensi Syiah di Indonesia sangat sulit untuk ditertibkan (apalagi dibubarkan), karena ia memang dilindungi oleh kekuatan Barat, khususnya Amerika. Sebagaimana Barat membutuhkan paham Liberal untuk merusak ajaran Islam, mereka juga merasa sangat diuntungkan dengan eksistensi paham Syiah.
Siapapun yang memeluk akidah Syiah Rafidhah secara sadar dan mengerti; dapat dipastikan dia akan keluar dari Islam. Mengapa? Karena dalam akidah itu mereka meyakini Al Qur’an tidak murni lagi; hak Kekhalifahan Ali sebagai azas agama melebihi Tauhidullah; batalnya Syariat Islam, diganti syariat perkataan pribadi imam-imam Syiah (yang tidak bisa dibuktikan otentisitasnya); mereka mencaci-maki, menghina, menyerang pribadi isteri-isteri Nabi dan para Shahabat Radhiyallahu ‘Anhum; mereka mengkafirkan Abu Bakar dan Umar, menganggap keduanya sebagai thaghut dan kekal di neraka; mereka mengkafirkan Ahlus Sunnah, dan menghalalkan harta, darah, dan kehormatannya; mereka menghalalkan nikah Mut’ah yang telah diharamkan oleh Nabi dan para Shahabat; dan lain-lain keyakinan sesat.
Inti keyakinan Syiah Rafidhah, adalah kedurhakaan kepada Syariat Islam, mempertuhankan imam-imam, menjadikan dendam politik sebagai akidah tertinggi, mengkafirkan kaum Muslimin, menodai kehormatan para Shahabat yang dicintai oleh Al Musthafa Shallallah ‘Alaihi Wasallam; serta semua itu dibungkus di balik kamuflase “mencintai Ahlul Bait Nabi”. Masya Allah, laa haula wa laa quwwata illa billah. Ini adalah keyakinan kufur, sehingga siapa yang meyakini semua ini secara sadar; dia otomatis kufur. Tidak berbeda sama sekali antara seorang Muslim yang masuk Kristen, Hindu, Budha, dengan orang yang masuk Syiah Rafidhah (Imamiyah) ini.
Ada sebuah pernyataan aneh dari seorang tokoh ormas Islam tertentu. (Lihat artikel ini: Inilah Sikap Tokoh Ormas Islam Terkait Tragedi Sampang). Komentar yang bisa saya sampaikan: “Pak, Pak…lewat pernyataan seperti ini, kita seperti tidak pernah belajar agama saja. Bukankah konflik Sunni-Syiah sudah terjadi sejak ribuan tahun lalu, sejak dakwah Abdullah bin Saba’ dimulai? Sementara isu Zionisme itu kan baru kemarin-kemarin? Masak sih, setiap ada isu konflik Sunni-Syiah, selalu dilarikan ke isu Zionisme? Apakah itu maksudnya, supaya Ahlus Sunnah di Indonesia diam-diam saja menghadapi semua provokasi dan kesesatan ajaran Syiah, karena mereka berlindung di balik isu kontra Zionisme? Selagi orang-orang sesat itu terus mencaci-maki kehormatan isteri-isteri Nabi dan para Shahabat, jangan pernah bermimpi ada perdamaian antara Sunni dan Syiah.
Pak Habib, perlu dijelaskan sedikit kepada Anda. Di mata kaum Syiah, mencaci-maki isteri Nabi dan para Shahabat adalah SOKO GURU akidah mereka. Demi Allah, akidah Syiah dibangun di atas azas ini; sehingga kalau kita berteriak-teriak selama ribuan tahun meminta Syiah untuk menghentikan caci-makinya itu, niscaya ia tidak akan terlaksana. Karena inti eksistensi Syiah ada disana. Sementara bagi kaum Muslimin (Ahlus Sunnah), mencintai Ahlul Bait Nabi, mencintai isteri-isteri beliau, mencintai para Shahabat beliau; hal itu juga merupakan AZAS AKIDAH Ahlus Sunnah, setelah AZAS TAUHID dan AZAS SUNNAH. Menafikan azas ini bisa berakibat kekafiran bagi pelakunya; sebab Allah Ta’ala telah menjadikan isteri-isteri Nabi dan para Shahabat Nabi ridha kepada-Nya, dan Allah pun ridha kepada mereka (Surat At Taubah 9:100). Lihatlah Surat An Nuur! Surat ini andaikan kita boleh ikut menamainya, ia akan diberi nama “Surat Aisyah”. Mengapa? Karena sejak ayat 1 sampai ayat 26, isi surat ini ialah pembelaan dari langit, dari Arasy tertinggi, terhadap kesucian ‘Aisyah binti Abi Bakrin Radhiyallahu ‘Anhuma dari tuduhan keji yang dialamatkan kepadanya. Tidak ada di antara ummat Nabi Shallallah ‘Alaihi Wasallam, yang mendapat pembelaan sangat banyak dalam Al Qur’an, selain Ummul Mukminin Radhiyallahu ‘Anha tersebut. Lalu atas semua ini, Syiah Rafidhah menjadikan sosok Aisyah Radhiyallahu ‘Anha sebagai sasaran caci-maki, laknat, dan kebencian.
Lalu di zaman modern ini, tiba-tiba muncul sosok “pahlawan” yang ingin mendamaikan Sunni dan Rafidhah. Masya Allah, seberapa kuat tangan, fisik, dan suara dia, untuk mendamaikan PERTEMPURAN AKIDAH yang abadi ini? Allah Ta’ala meridhai isteri Nabi dan para Shahabat; sementara Syiah Rafidhah mencaci-maki, menghina, dan melaknati mereka. Jelas kaum Ahlus Sunnah berdiri di bawah bendera Hizbullah (Keridhaan Allah); sedangkan Syiah Rafidhah berdiri di bawah keridhaan dan hidayah iblis laknatullah ‘alaih. Dan Hizbullah itulah yang pasti menang!
Wahai Ahlus Sunnah…Anda harus sadar sesadar-sadarnya, bahwa tidak ada yang sanggup mengalahkan Anda, melemahkan Anda, atau meruntuhkan Anda. Karena Anda berdiri di atas Al Haq. Anda berdiri di atas Syariat Islam yang suci, Kitabullah dan Sunnah yang mulia, Akidah Tauhid yang kokoh; serta Anda berdiri di atas Keridhaan Allah Ar Rahman, insya Allah wa bi idznihi. Tidak ada yang sanggup mengalahkan Anda, siapapun diri mereka; apakah Amerika, Inggris, NATO, nuklir Iran, jamaah Syiah Rafidhah seluruh dunia, dan seterusnya. Karena kita (Ahlus Sunnah) ditolong oleh Ar Rahmaan, lantaran selalu berpegang kepada Kesucian Syariat Islam, serta memuliakan Ahlul Bait Nabi semurni-murninya, tanpa mengkultuskan dan menodai hak-hak Uluhiyah dan Rubbubiyyah Allah Ta’ala.
Pegang selalu kemurnian akidah Ahlus Sunnah, dan jangan dilepaskan karena alasan apapun. Sekalipun kita mati, biarlah mati di bawah naungan bendera SUNNAH NABI Shallallah ‘Alaihi Wasallam. Jangan pernah lepaskan akidah ini, wahai Ahlus Sunnah. Karena akidah inilah yang akan menjadikan Islam tetap eksis di muka bumi; karena akidah inilah yang akan menjadikan Syariat Islam yang suci tetap terpelihara; karena akidah inilah yang akan menyatukan kita dengan barisan Sayyidul Mursalin, isteri-isteri Nabi, para Khulafaur Rasyidin, para Shahabat, serta imam-imam Ahlus Sunnah sepanjang masa, hingga hari ini.
Jangan pernah dilepaskan, wahai Saudaraku. Bahkan bercita-citalah kalian untuk mati dalam rangka membela BENDERA RASULULLAH sampai titik darah terakhir! Adapun terhadap omongan eli-elit politik sesat, serta bajingan-bajingan moral, abaikan saja. Semua itu tak akan memberi madharat sedikit pun kepada Allah yang Maha Suci. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamiin.
Tatar Pasundan, 2 September 2012. Minal faqir ila rahmati Rabbi..
[Rewrite]
Langganan:
Postingan (Atom)