Sabtu, 30 Agustus 2014

Budaya OSPEK

Gak tau kenapa nih aku pengen posting budaya ospek di Indonesia. Eh tapi gak akan jauh-jauh deh, khususnya sih budaya ospek di kampusku sendiri (cieee kampus..ceritanya aku maba gitu).

Tadinya mau ku tuliskan beberapa sudut pandangku di halaman facebook, cuman agak parno juga soalnya bukan karena takut gak akan di like tapi temen-temen fb ku mungkin gak ada yang ingin baca karena gak ada berurusan dengan postingan aku atau cuma sekedar di scroll down (dilewat doang). Jadi tenang aja aku gak akan berceloteh di timeline mereka. Aku share aja link nya bagi yang mau baca ya mangga buka link nya. Eh nah lo kok jadi agak promosi yak! Ya sudahlah da aku mah apa atuh…….

Nah kembali lagi nih ke topik awal. Sedikit bercerita (lagi) kemaren aku udah selesai PMB (penerimaan mahasiswa baru). Cuman ada yang berbeda guys, ternyata gak separah yang aku bayangin. Ternyata gak ada senior yang membentak (ya sebenernya mereka sayang kita), gak ada senior yang embacot ketika itu kampus serasa milik maba, ditambah lagi kami di gandeng sama dosen-dosennya secara langsung, di arahkan pula. Memang ada senior dari BEM dan BPM tapi mereka cuma membantu dosen aja deh dan dalam tiga hari ospek, kakak-kakak BEM dan BPM hadir cuma dua hari. Pas hari ketiga sumfah dah aku celengak-celenguk lah mana seniornya? Mana kakak-kakak BEM sama BPM nya?

Katanya eh katanya, fakultas aku yang sekarang itu terkenal “sadis”, “keras”, dan disiplin tinggi se-Universitas. Agak terbelesit di otakku “alhamdulillah kabar gembira untuk kita semua maba 2014″. Tapiii………yang menjadi masalah adalah kebijakan ini emang baru takutnya disalahgunakan. Dosen pembimbing mengatakan tidak ada lagi kekerasan justru dengan begini kami dapat membentuk karakter yang mandiri sekaligus inisiatif. Ya oke sih aku mah setuju aja sama kebijakan apapun. Cuman kalau kembali waktu masa ospek di SMA yang parah dan kejam (konotasi bro), tanpa adanya sedikit “bentakan” dan “tamparan” kayaknya kami bisa menyalahgunakan kebijakan baru tersebut karena jujur aja hari pertama kuliah (cieeee…uyee) memang ada yang inisiatif seseorang yang kayaknya calon aktivis menghimbau harus pake dress code buat ngebedain mana senior mana kakak tingkat dan mana maba. Tapi suatu ketika aku ketemu cewek di mesjid pake baju dress code maba, aku pikir dia adalah maba dan ternyata BUKAN WOYY dia adalah senior (untung nyapa). Tuhkan apa bedanya.

Hari pertama pasca PMB, anak-anak maba udah mulai baju bebas tanpa dress code. Tambah aku pikir untuk ngebedain mana maba atau bukan semakin sulit. Kami ada tradisi harus 3S (senyum sapa salam) sama senior, dosen atau staff disana. Bahkan dosennya pun ada yang mirip mahasiswa karena terlihat muda percaya gak?

Well..hari kedua mulai simpang siur respon kakak tingkat sama senior yang menggembar-gembor masalah tata krama maba non-ospek ini. “Sapa sih tapi nyelonong”, ya da kami mah apa atuh, peralihan dari SMA ke KAMPUS yang ga tau apa-apa dan ababil yang selalu salah dimatamu! (Kayak lagu -_-).

Jujur saja, kebiajakan baru ini memang tombak menuju awal budaya yang baru, tapi aku sebagai maba butuh “tamparan” karena masalahnya banyak maba yang menyatakan hal-hal yang belum tentu benar adanya. Masa dilarang ke kantin, dilarang diem atau nongkrong di student center, dilarang pake wifi, dilarang lewat doang masa ga boleh, lama-lama ga boleh nafas ini mah -_-. Itu semua yang bilang bukan dari pihak dosen atau mahasiswa senior tapi MABAnya sendiri. Aku bisa memahami, kami maba kami baru terlahir di lingkungan itu, kekhawatiran akan “amuknya” senior karena kami (mungkin) seenaknya pakai fasilitas kampus gitu aja (iya lu ga boleh pipis soalnya toilet juga termasuk fasilitas kampus). Tapiiiii……gak gitu juga kaliii. Walaupun aku di bayarin pemerintah dan gak bayar apapun disini tapi kalo aku bayar kayak temen-temenku yang bayar aku kan rugi. Fasilitas kampus milik kami juga walaupun kami anak maba.

Nah, suatu hari aku kelaperan dan ga bawa bekal nasi. Mengingat ke kantin aja gak boleh, mau gak mau aku harus pergi ke luar kampus dimana kami harus naik angkot dikarenakan jauh. Waktu itu agak dilema juga. Soalnya jam 12 siang kelaperan, sedangkan jam setengah satu sudah harus balik ke kampus. Nekatlah aku dengan temanku berdua makan di kantin kampus. Aku lirik ada meja yang kosong tuh. Oke cabuut!

Setelah ngisi piring kosong, aku jalan ke bawah, emang disana senior semua bro! Ada sih maba cuman, pada diem di atas dan berhubung kami gak kebagian tempat di atas, kami langsung ke bawah (eh ngomong-ngomong makanannya mahal).

Waktu mau lesehan, di depan kami dan di belakang kami senior semua. Kami berada tepat di tengah-tengah mereka. Waah sensasi luar biasa! Tapi biasa aja, aku udah bener-bener laper waktu itu.

Biasa aja, kalo aku ga salah kami berdua gak di bully kayak di sinetron (kecuali kalo mereka ngebully lewat bisikan). Nah dari situ aku bisa nyimpulin kalo gak semua senior peduli dengan keberadaan kami. Yang ngebully perhatian banget ya sama maba, yang nggak peduli ya netral aja sih kayaknya. So, sudut pandang kita terlalu berlebihan kayaknya kalo mendengar kata “kakak senior”. Oh iya aku juga nyapa mereka mau ga mau kan.

Kami, maba perlu tahu gimana para senior berpikir dan perlu tahu respon dan sudut pandang mereka secara langsung tentang kami, khususnya aku sendiri pengen tau. Aku gak mau denger kata teman seangkatanku itu. Hahaha.

Dan setelah di pikir-pikir, apa apa yang kami lakukan mengenai harus begini harus begitu ternyata kembali lagi KAMI TAKUT PADA SENIOR (sumpah sinetron banget). Coba deh tanya satu satu maba, lu takut apa lu emang menghargai senior? Dan pada saat para dosen ingin menghapus budaya ospek yang ketinggalan jaman itu, rupanya kami masih menyimpan satu yang essensial dari mengapa budaya ospek yang kuno itu masih tetap saja mengakar pada diri kami mahasiswa baru kontemporer.

Hari ketiga, kuliah pertama cuma perkenalan doang kan. Para maba udah pake dress code kebanyakan. Aku? Aku dilemma sebenernya. Mengingat ketika dosen bilang gak diwajibkan pakai baju kotak-kotak dan yang penting rapih plus sopan, aku sendiri baju kotak-kotak cuma punya satu. Satu doang ! Sedangkan calon aktivis itu bilang harus kotak-kotak selama satu semester. Eh busseeet! Ya oke lah, mengingat bahwa katanya kotak-kotak merupakan ikon budaya fakultas kami tak apa jika dijadwal misalkan untuk tiga kali dalam seminggu yang penting gak tiap hari banget. Yang memberatkan itu bukan masalah kotak-kotaknya, kotak-kotak membuat rapih emang, cuman itu loh kata “harus” yang diselipkan di kalimat seruannya. Aih..

Pada hari itu pula, ada seseorang lelaki di kelasku yang kontra dengan penjelasannya, dan alhamdulillah segala yang mau aku sampein dia wakilkan saat itu. Di dalam hati “you’re my bro! My angel!!” Hahaha..seenggaknya ternyata ada yang satu pemikiran.

Dan rupanya calon aktivis kami kurang sependapat dan masih ngotot dengan kata “harusnya” itu. Wah…mentang-mentang kagak ada dosen lu bikin forum di atas forum. Jadi aja aku kan ikutan nyimak. Wkwkwk.

Okelah, so what’s the matter?
Budaya itu terbentuk bukan dengan himbauan, tapi keinginan hati dan kesadaran masing-masing. Mengingat ketika di masjid itu aku bertemu dengan kakak kelas yang berbudaya, kita tak perlu repot-repot toh yang sadar pasti berbisik dalam hati, “oh begini ya budaya disini”. Terimakasih kepada semua kakak senior yang berbudaya!

Pada akhirnya, aku sapa semua manusia yang ada di kampus, terkadang aku gak sengaja nyapa anak yang maba juga. Ya kirain senior. Ya, gak ada yang salah kan.. Aku mau ngehargain siapapun disana. Mending salah daripada gak nyapa sama sekali. Toh saat aku salah nyapa orang yang ku kira senior, kami jadi akrab. Hahaha. What a joke!

Well, satu hal lagi, aku gak pake full dress code. Jika baju kotak-kotakku kotor, aku ga susah payah nyuci dan jemur pada saat itu juga. Bukan tak menghargai maksud baik mereka, tapi aku ingin melakukannya atas dasar hatiku. Aku pakai baju lain yang masih sopan. Dan yang penting lagi, baju sudah sopan, tatakrama jalan, dosen gak kasih nilai E. Hahahaha