Paman Saya Berpesan, 'Hindari Debat Agama!"
Saat awal-awal saya terhubung dengan dunia internet, perasaan saya marah campur shock. Betapa banyak saya temukan forum-forum yang mendiskusikan dan menyerang ideologi yang saya anut. Debat dan diskusi yang berdarah-darah seolah-olah tiada habisnya. Masing-masing orang saling memberikan argumen yang rasanya tidak akan pernah menemukan titik temu dan kesepahaman di antara mereka. Sebuah bertanyaan dan pernyataan yang menyerang dalam sebuah thread dikomentari hingga beratus-ratus komentar.

Namun memang esensi diskusi sangat berbeda dengan berdebat. Seolah-olah membungkam lawan debat dengan argumentasi yang mematikan menjadi tujuan utama mereka. Bukan untuk memperluas pengetahuan, apalagi memuaskan keingin tahuan yang berujung pada saling memahami dan toleransi. Padahal esensi peperangan dalam filosofi Jawa sungguh sangat humanis, “menang tanpo ngasor ake” yang artinya menang tanpa merendahkan.
Cukup lama saya tenggelam dalam forum debat ala red ocean seperti itu. Memang hampir di mana-mana, diskusi tentang agama jauh lebih berdarah-darah dan menghabiskan banyak energi. Seolah-olah debat tersebut sebenarnya hanya pengulangan dari debat-debat serupa di forum luar negeri dan debat-debat yang dilakukan sepanjang sejarah kehidupan agama. Hampir-hampir saya membenarkan lirik lagunya John Lenon dalam Imagine. Seolah-olah memang agama menjadi sumber konflik dunia. Orang bisa berperang atas nama Tuhan dan agama, namun ternyata orang bisa juga berperang atas nama nafsu serakah dan egonya.
Dalam Kitab Suci, kisah Firaun yang mengangkat dirinya sebagai tuhan, menjadi nasihat bagi kita semua, betapa ketika manusia memegang kekuasaan tak terhingga, dia bisa menjadi makhluk yang sangat berbahaya. Karena tidak ada lagi yang dia takuti dalah kehidupan di dunia dan pasca kematian.
Dalam ketersesatan saya memasuki forum-forum debat agama untuk meluruskan dan membela ajaran agama saya, datanglah Paman — adik dari Ibu saya. Saya mengadukan betapa agama dijadikan bahan olok-olok di dunia maya, dan kita harus membelanya. Namun dengan tersenyum Paman bilang begini, “Agama XXX tidak membutuhkan pembelaan dalam bentuk debat seperti itu, Allah memang menjanjikan barang siapa menolong Agama Allah, Allah akan menolongnya. Menolong agama Allah itu esensinya bukan kemudian menghabiskan waktu dengan cara berdebat yang tidak perlu. Tunjukkan kebenaran agamamu dengan perilaku dan tingkah laku yang baik. Itulah cara menolong agama Allah.”
Saya menjadi cukup paham dengan esensi menolong agama Allah, namun saya masih belum puas dengan jawaban tersebut. Sayapun meminta jawaban lebih lanjut. Lalu Paman saya melanjutkan dengan penjelasan,
“Jangan buang-buang waktu untuk mencari kelemahan agama dan ajaran orang lain, gunakan saja waktumu untuk menggali lebih dalam kebaikan dari agamamu. Orang lain tidak akan tahu kebenaran dan kebaikan XXX hanya dari kata-kata dan kalimat panjang lebarmu. Orang lain akan tahu XXX itu agama benar dan membawa kebaikan jika kamu bisa menampilkan yang terbaik dari perilakumu karena kamu beragama XXX.”
“Lalu bagaimana jika ada orang lain menyerang dan menjelek-jelekkan XXX dengan informasi yang salah dan diputar balikkan?” Tanya saya dengan berlahan.
Paman saya menjawab, “Kuasai pengetahuan agamamu sebaik mungkin. Pelajari Kitab Suci. Pelajari sejarah XXX yang benar. Baca kitab-kita. Karena debat tentang XXX itu tidak hanya terjadi sekarang ini, tetapi sudah berusia lebih dari 14 abad.”
Saya tersadar dan tidak mau melanjutkan pertanyaan saya. Paman saya ada benarnya. Membela agama tidak boleh dengan cara meninggalkan nilai-nilai kebenaran agama. Menampilkan kebenaran agama tidak hanya dengan kata dan kalimat, tetapi juga perilaku kita sebagai pemeluk agama yang kita yakini kebenarannya. Dan jangan buang-buang waktu untuk mencari kelemahan agama orang lain, yang terbaik justru adalah belajar lebih baik lagi untuk menggali kebenaran dan kemanfaatan agamanya sendiri.
Sejak itu saya berhenti masuk ke forum-forum debat tentang agama. Andaikata harus menjawab, maka menjawab pertanyaan dalam sebuah dialog dengan ilmu. Namun andaikata lawan dialog kita tidak punya itikad baik untuk saling belajar, hanya cenderung senang kita bertekuk lutut, maka lebih baik saya menghindarinya.
Semoga pesan Paman saya diatas, bisa membawa manfaat bagi saya dan Anda semua yang ingin menampilkan kebenaran dari agamanya masing-masing. Agama tidak untuk diperdebatkan, tetapi untuk diamalkan.
Saya yakin Anda setuju dengan saya. :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar